Sudah bukan menjadi rahasia lagi adanya pasangan pengantin yang menikah tetapi sang istri sedang dalam keadaan hamil. Hal ini terjadi tentu saja karena kasus seperti ini tidak sedikit lagi. Statistik kawin di beberapa KUA ada yang mencapai 10% dari jumlah pernikahan dalam satu tahun, calon pengantin perempuannya dalam keadaan hamil.
Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap keliru jiga wanita hamil dinikahkan, meskipun itu yang melakukan adalah institusi resmi pencatatan perkawinan yaitu KUA.sebenarnya, bagaimana status pernikahan wanita hamil itu ?
Secara Fiqh (Hukum Islam) terjadi perbedaan pendapat ulama di dalamnya. perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam mengambil dalil hukum dan perbedaan interpretasi atas dalil hukum tersebut. Terkait perbuatan Zina dan pelakunya, Allah SWT berfirman :
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمنينِ
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Ada sebagian pendapat yg mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat QS. An-Nuur: 3 tersebut. Namun kalau kita teliti, ulama yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkannya.
Pendapat Ulama
Jumhurul fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yg pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima‘ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
"Dan kawinkanlah orang-orang yg sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yg berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yg haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Thobroni dan Daruquthuni)
Ulama 4 Imam Madzab Fikih hanya Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) yg mengatakan melarang dan TIDAK SAH pernikahan yg dilakukan saat wanita telah hamil sampai dia melahirkan. Adapun madzhab yg lain membolehkannya sbb:
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki2 yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yg menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Madzhab Maliki dan Hanbali
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. (Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An- Nawawi, jus XVI halaman 253)
Madzhab Syafi'i
Imam Syafi'i menurut pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. (Kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy- Syairazi juz II halaman 43.)
UU Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
Perempuan hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah karena cerai atau ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yang hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa nifas.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah TETAP SAH. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
"Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."
Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena, perbuatan keji ini dapat merusak berbagai aspek.
Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap keliru jiga wanita hamil dinikahkan, meskipun itu yang melakukan adalah institusi resmi pencatatan perkawinan yaitu KUA.sebenarnya, bagaimana status pernikahan wanita hamil itu ?
Secara Fiqh (Hukum Islam) terjadi perbedaan pendapat ulama di dalamnya. perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam mengambil dalil hukum dan perbedaan interpretasi atas dalil hukum tersebut. Terkait perbuatan Zina dan pelakunya, Allah SWT berfirman :
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمنينِ
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Ada sebagian pendapat yg mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat QS. An-Nuur: 3 tersebut. Namun kalau kita teliti, ulama yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkannya.
Pendapat Ulama
Jumhurul fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yg pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima‘ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
"Dan kawinkanlah orang-orang yg sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yg berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yg haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Thobroni dan Daruquthuni)
Ulama 4 Imam Madzab Fikih hanya Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) yg mengatakan melarang dan TIDAK SAH pernikahan yg dilakukan saat wanita telah hamil sampai dia melahirkan. Adapun madzhab yg lain membolehkannya sbb:
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki2 yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yg menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Madzhab Maliki dan Hanbali
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. (Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An- Nawawi, jus XVI halaman 253)
Madzhab Syafi'i
Imam Syafi'i menurut pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. (Kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy- Syairazi juz II halaman 43.)
UU Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Perempuan hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah karena cerai atau ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yang hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa nifas.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah TETAP SAH. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
"Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."
Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena, perbuatan keji ini dapat merusak berbagai aspek.
Post a Comment for "Wanita Hamil Menikah, Bagaimana Hukumnya Menurut Agama dan Negara?"