Sejak dicanangkan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi dan wilayah birokrasi bersih melayani pada tahun 2017 upaya untuk menciptakan wilayah kerja yang bebas dari pungli, suap, maupun gratifikasi gencar dilakukan di berbagai satuan kerja dan unit kerja di Kementerian Agama. Hingga kini beberapa satuan kerja sudah memiliki predikat WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani). Predikat tertinggi dalam layanan publik. Banyak satker yang sudah meraik predit WBK (Wilayah Bebas Korupsi) tapi masih banyak juga satker yang baru mau menuju WBK.
Bersama Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, seusai memberikan materi bimtek Pengendalian Gratfikasi di Aula PLHUT Kemenag Bantul
Salah satu bagian dari satuan kerja Kementerian Agama yang punya andil
dalam meraih predikat WBK maupun WBBM adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagai
intansi terbawah Kementerian Agama yang berhubungan langsung dengan masyarakat,
KUA rentan terjadi tidak pungli maupun gratifikasi. Sudah bukan rahasia lagi
bahwa banyak petugas pencatat nikah yang menerima amplop saat melaksanakan tugas
pencatatan nikah. Selain itu banyak juga aduan masyarakat yang mengaku dimintai
biaya oleh petugas KUA terkait administrasi pengurusan legalisasi buku nikah
maupun pembuatan duplikat buku nikah. Padahal, pemberian amplop kepada petugas adalah
termasuk
Mengapa tindak prilaku gratifikasi ini masih marak di instansi-instansi pelayanan publik? Menurut Helda Helmijaya, Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi gratifikasi, yaitu :
- Adanya ketidak percayaan public terhadap layanan. Publik khawatir jika tidak memberikan gratifikasi di kemudian hari tidak mendapat pelayanan yang baik.
- Tidak adanya transparansi layanan. Sop layanan yang tidak jelas dan standar biaya yang tidak ditampilkan ke publik sehingga publik tidak mengetahui prosedur dan biaya yang harus dikeluarkan pada setiap layanan.
- Pelayan publik tidak akuntable atau tidak bertanggungjawab. Proses layanan yang tidak sesuai, tidak efektif dan tidak efisien. Dalam proses penyelesaian layanan harusnya yang bergerak adalah berkas layanan bukan petugas layanannya.
- Diskriminasi pelayanan. Masih adanya sikap membeda-bedakan dalam memberikan layanan publik.
- Ada hiden
agenda. Ada maksud tertentu dari pemberian gratifikasi tersebut.
Sikap semestinya petugas ketika mendapatkan pemberian gratifikasi yang pertama adalah menolak, jika menolak sulit dilakukan maka penerimaan gratifikasi tersebut harus dilaporkan ke KPK paling lambat 30 hari setelah penerimaan gratifikasi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan pada KPK setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka terdapat resiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun pidana.
Fasilitas pelaporan gratifikasi saat ini sudah banyak dan mudah. Pelaporan gratifikasi bisa melalui aplikasi KPKGOL (KPK Gratifikasi Online) yang bisa didownload di Playsote. Pelaporan gratifikasi juga bisa mellaui UPG (Unit pengendalian gratifikasi) yang ada di nasing-massing satuan kerja.
Salah satu UPG yang mendapat banyak pelaporan gratifikasi adalah UPG Kemenag Bantul. Gratifikasi yang sudah ditetapkan sebagai milik negara, jika berupa uang akan ditransfer ke kas negara. Jika berupa barang, barang-barang gratifikasi diserahkan ke KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) untuk selanjutnya akan dilelang.
Post a Comment for "Gratifikasi dalam pelayanan publik dan faktor yang mempengaruhi"